Thursday, June 17, 2010

IJEN CRATER




Minggu lalu saya melakukan ke kawah ijen, dan salah seorang kawan bilang ; “saya akan datang lagi ke kawah ijen kalau ga capek”.
Ah, masih ada ya capek dalam hidup ini. Kalau semua manusia di muka bumi ini ga perlu lagi bersabar, tentu kita semua akan teriak ‘capek’. Tapi, karena kita punya tanggung jawab, at least buat diri kita sendiri, maka capek itu udah ga laku lagi.
Kalau bicara capek, saya, dia, mereka, pun juga capek. Kalo kita pikir kita adalah orang yang paling capek di dunia ini? Lebih baik kita pastikan lagi bahwa kita udah bener-bener ‘melek’ bahwa masih ada yang lebih capek dari kita. Pelajaran ini saya dapat ketika melakukan perjalanan ke kawah ijen.
Saat menyusuri jalanan mendaki menuju kawah ijen, saya melihat bapak-bapak separuh baya dengan langkah tergopoh membawa beban sekitar 80 kg, yang akan kita sebut sebagai penambang belerang. Menuju bibir Kawah Ijen, kita harus berjalan mendaki sekitar 3.2 km. Di kilometer pertama, perjalanan tak terasa terlalu berat, pendakian tidak terlalu curam. Hanya saja terik matahari dan dinginnya hawa pegunungan membangkitkan dahaga kami.

Jalan tanah menuju kawah Ijen bisa dikategorikan kelas ringan, Jalanannya berupa tanah kering, tak ada lumpur, semak, sungai, batu-batu, yang merintangi perjalanan. Sepanjang perjalanan, disediakan 5 shelter tempat beristirahat. Semakin mendekati bibir kawah, pendakian semakin curam. Langkah pun terasa semakin berat. Tetapi, beratnya langkah dihargai dengan sajian panorama yang luar biasa indah. Serasa berada di negeri dongeng.
Tapi ga kebayang gimana cape nya para penambang belerang tersebut. Karena setelah berjalan 3.2 km menuju bibir kawah, mereka masih harus menuruni kawah sekitar 1 km dengan kontur bebatuan yang sangat berisiko. Dan itu bisa mereka lakukan 3 kali bolak-balik dalam sehari. Ahhh, membayangkannya pun saya ga sanggup.
Saat saya ke sana, pada saat yang bersamaan mendapat kabar dari para penambang bahwa belerang baru saja terbakar. Bau belerang tak tertahankan lagi saat itu. Nafas pun menjadi sangat sesak. Kami pun tidak bisa meneruskan perjalanan menuruni kawah, menyaksikan bagaimana para penambang tersebut bekerja.
Ngobrol-ngobrol dengan penambang belerang di sana,dia bilang bahwa setiap satu kilo belerang yang mereka bawa, dihargai 600 rupiah (ajjja, gituhhh). Ya Allah, benar-benar tak terbayang kan oleh ku, berat nya beban mereka. Tapi, apakah semua itu menjadi beban dalam keseharian mereka? Ternyata tidak juga, sebagian tampak sudah sangat ‘menikmati’ pekerjaan itu. Semua nya dilakukan demi membahagiakan orang-orang yang mereka cintai. Apakah ada pamrih, protes, dan berontak yang bergejolak di diri mereka?
Lalu bagaimana dengan kita? Seringkali kita protes menjadi orang yang paling cape di muka bumi ini. Merasa seolah semua dibebankan pada kita. Tapi adakah letih itu menjadi begitu penting, jika karena letih itu mereka (yang kita sayang) menjadi bahagia?

0 komentar: